Selasa, 20 Maret 2012

Kristina Irena




Komputerisasi rekam medis sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 1994, MMR UGM pernah mengadakan seminar bertajuk “Menuju komputerisasi rekam medis”. Saat ini, di klinik yang khusus melayani para pegawai dan mahasiswa di UGM (GMC= Gadjah Mada Medical Centre) dokternya tidak lagi menggunakan status rekam medis kertas. Mouse dan keyboard sudah menggantikan pena untuk mencatat gejala, hasil observasi, diagnosis sampai dengan pengobatan (lihat catatan Dani Iswara tentang CPOE di GMC). Namun, hingga kini hanya klinik tersebut satu-satunya fasilitas kesehatan yang menggunakan rekam medis elektronik (RME) di Jogja. Meski hanya untuk melayani pasien rawat jalan, itu sudah lumayan.
Pada dasarnya rekam medis elektronik adalah penggunaan metode elektronik untuk pengumpulan, penyimpanan, pengolahan serta pengaksesan rekam medis pasien di rumah sakit yang telah tersimpan dalam suatu sistem manajemen basis data multimedia yang menghimpun berbagai sumber data medis. Dalam UU Praktik Kedokteran penjelasan pasal 46 ayat (1), yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Pengertian yang sama juga digunakan pada Permenkes 269/2008. Jenis data rekam medis dapat berupa teks (baik yang terstruktur maupun naratif), gambar digital (jika sudah menerapkan radiologi digital), suara (misalnya suara jantung), video maupun yang berupa biosignal seperti rekaman EKG.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa proses adopsi inovasi RME di Indonesia berjalan lambat? Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana mempercepatnya?
Alasan klasik
Alasan klasik mengapa RME tidak berkembang dengan cepat adalah tidak adanya payung hukum yang jelas. Seringkali muncul pertanyaan, bagaimana perlindungan rumah sakit jika terjadi tuntutan kepada pasien. Bagaimana keabsahan dokumen elektronik? Jika terjadi kesalahan dalam penulisan data medis pasien, apakah perangkat elektronik memiliki fasilitas log untuk tetap dapat mencatat data yang telah dimasukkan sebelumnya dan tidak menghapus(delete) sehingga tetap bisa dikenali siapa yang memasukkan data tersebut serta jenis data yang akan diganti? Aspek regulasi dan legal memang tidak dapat menandingi kecepatan kemajuan teknologi informasi. Pada penjelasan UU Praktek Kedokteran pasal 46 dimungkinkan rekam medis tersimpan dalam bentuk elektronik. Tetapi petunjuk teknisnya hingga saat ini belum dikeluarkan oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). KKI sudah mengeluarkan Manual Rekam Medis, tetapi itupun belum menjelaskan secara rinci tentang rekam medis elektronik. Baru-baru ini, Depkes mempublikasikan Permenkes no 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis sebagai pengganti Permenkes 749a/Menkes/Per/XII/1989. Tetapi ini juga tidak memberikan penjabaran secara rinci tentang rekam medis elektronik. Hanya disebutkan bahwa penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri (Pasal 2 ayat 2). Di sisi lain, masyarakat banyak berharap dengan UU ITE yang baru saja disahkan oleh DPR untuk memberikan jaminan hukum terhadap transaksi elektronik. Tentu saja mengharapkan UU ITE sebagai dasar pelaksanaan rekam medis elektronik tidak mencukupi.
Di beberapa negara bagian di AS, beberapa rumah sakit hanya mencetak rekam medis jika akan dijadikan bukti hukum. Di Wan Fang Hospital, Taipei, meskipun sudah menerapkan rekam medis elektronik, rumah sakit masih memiliki bagian rekam medis untuk menyimpan hasil printout setiap data elektronik pasien yang harus ditandatangani oleh dokter.
Persoalan lain adalah ketersediaan dana. Aspek finansial menjadi persoalan penting karena harus menyiapkan infrastruktur (komputer, jaringan kabel maupun nir kabel, listrik, sistem pengamanan, konsultan, pelatihan dan lain-lain). Rumah sakit biasanya memiliki anggaran terbatas, apalagi untuk teknologi informasi.
Belum prioritas
Semua setuju bahwa bahwa sistem penagihan elektronik (computerized billing system) di rumah sakit merupakan keharusan untuk menjamin manajemen keuangan rumah sakit yang cepat, transparan dan bertanggung jawab. Dalam piramida sistem informasi rumah sakit, billing system merupakan lapisan yang paling dasar alias sistem pengolahan transaksi. Jika billing system merupakan contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan administratif dan keuangan, maka RME adalah contoh sistem pengolahan transaksi untuk fungsi pelayanan medis.
Tidak ada kasir rumah sakit yang menolak pendapat bahwa komputer mampu memberikan pelayanan penagihan lebih cepat dan efektif dibanding sistem manual. Sebaliknya, berapa banyak dokter dan perawat yang percaya bahwa pekerjaan mereka akan menjadi lebih cepat, lebih mudah dan lebih aman dengan adanya komputer?
Ada perawat yang menolak menggunakan komputer dengan alasan bahwa tugas utama mereka adalah asuhan keperawatan sedangkan menggunakan komputer merupakan pekerjaan administratif. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa jika generasi dokter yang sudah tua, kolot dan gaptek berganti dengan dokter muda yang computer literate maka menerapkan RME menjadi lebih mudah. Akan tetapi, sampai saat inipun masih ada mahasiswa kedokteran di AS yang menolak ide penerapan RME.
Tantangan
Dalam berbagai kesempatan, seringkali disebutkan bahwa tantangan utama pengembangan sistem informasi di rumah sakit adalah aspek finansial. Hal ini dibuktikan bahwa di berbagai negara, investasi teknologi informasi di rumah sakit rata-rata adalah 2,5% dari total anggaran mereka. Padahal, di sektor lain, dapat mencapai tiga kali lipat. Faktor kedua adalah aspek legal dan security. Masih banyak pihak yang mencurigai bahwa rekam medis elektronik tidak memiliki payung legalitas yang jelas. Hal ini juga terkait dengan upaya untuk menjamin agar data yang tersimpan dapat melindungi aspek privacy, confidentiality maupun keamanan informasi secara umum. Sebenarnya, teknologi informasi memberikan harapan baru, yaitu teknologi enkripsi maupun berbagai penanda biometrik (sidik jari maupun pemindai retina) yang justru lebih protektif daripada tandatangan biasa. Tantangan berikutnya adalah kesiapan pengguna, dalam hal ini adalah tenaga medis. Pengalaman menunjukkan bahwa salah satu pionir pengembangan sistem pakar (expert system) adalah dunia kedokteran. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa aplikasi MYCIN (ditemukan pada awal 1970-an oleh Prof. Shortliffe, seorang ahli penyakit dalam dari Stanford University) ternyata tidak banyak diterapkan di dunia medis. Sistem tersebut, yang bertujuan membantu dokter dalam memberikan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakterinya, ternyata dianggap lambat, menghambat pekerjaan dokter, dan seakan membodohi dokter. Sistem pakar tersebut dianggap lebih cocok bagi mahasiswa kedokteran atau orang awam yang sama sekali belum pernah mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana memberikan terapi kepada orang sakit.
Beberapa faktor di atas akan diperparah jika manajemen rumah sakit juga tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas mengenai pengembangan sistem informasi rumah sakit. Karena pengelolaan teknologi informasi dianggap bukan sebagai core business di rumah sakit, rumah sakit tidak memiliki strategi pengembangan sistem informasi serta strategi pengembangan teknologi informasinya. Banyak rumah sakit di luar negeri sudah memiliki Chief Information Officer (CIO) yang khusus mengelola pengembangan sistem /teknologi informasi rumah sakit. Ketidakjelasan rumah sakit dalam pengelolaan teknologi informasi, akan berakibat pada tidak jelasnya reward dan penghargaan kepada pekerja teknologi informasi. Mereka akan menjadi pekerja yang dianggap setara dengan pekerjaan administratif. Sehingga yang dikhawatirkan adalah sektor kesehatan akan dihindari oleh pekerja teknologi informasi yang unggul.
Peluang
Beratnya tantangan di atas tidak berarti tidak serta merta menutup peluang yang ada. Dari sisi pengguna, sebenarnya dokter yang semakin computer literate dengan teknologi informasi juga terus meningkat. Di Kanada, lima puluh persen dokter yang berusia di bawah 35 tahun sudah menggunakan PDA. Mereka, sebagian besar memanfaatkannya untuk membaca referensi obat. Hal ini ditunjang dengan munculnya berbagai situs yang menyediakan e-book dan referensi obat yang dapat diinstall ke PDA. Salah satunya adalah epocrates (htttp://www.epocrates.com) yang menyediakan drug reference gratis untuk palmtop. Lainnya, memanfaatkan PDA untuk penjadwalan. Akan tetapi, baru sebagian kecil yang menggunakannya untuk manajemen pasien. Hal ini terkait dengan masih terbatasnya fasilitas yang user friendly untuk entry data pasien melalui PDA. Selain itu, sistem informasi rumah sakit juga harus menyediakan fasilitas untuk sinkronisasi data dari/ke PDA. Oleh karena itu, saat ini aplikasi yang berkembang mengarah kepada teknologi web yang menjanjikan portabilitas data yang lebih baik. Aplikasi ini juga didukung oleh teknologi wireless yang memungkinkan dokter dapat melakukan entry data di samping tempat tidur pasien secara langsung (computerized physician order entry)
Saat ini, penyedia aplikasi sistem informasi klinik sudah semakin banyak (khususnya di luar negeri). Para vendor tersebut juga berkompetisi untuk menunjukkan keunggulannya masing-masing. Vendor sistem informasi rumah sakit ada yang berangkat dari peranannya sebagai penyedia alat-alat medis (medical devices), ada pula yang berbasis pengalaman sebagai pengembangan sistem. Sehingga, ada yang memiliki keunggulan sebagai penyedia sistem informasi laboratorium yang sekaligus menyediakan alat pemeriksaan laboratorium. Ada pula vendor yang menawarkan perangkat keras radiologi digital sekaligus dengan software PACS (picture archiving and communication systems) untuk mendukung sistem radiologi tanpa film konvensional (filmless). Kecenderungan pemanfaatan teknologi elektronik ini juga akan berimbas pada konsep paperless yang ditandai dengan meluruhnya peran kertas (menjadi elektronik) sebagai media perekam medis. Upaya pengembangan sistem informasi klinis ini diharapkan dapat mendongkrak mutu pelayanan (pencegahan kesalahan peresepan obat), produktivitas klinisi (rekam medis dapat diakses secara cepat dan bersama-sama), serta mendorong efisiensi (menghindari permintaan pemeriksaan laboratorium berulang dikarenakan kertas hasil pemeriksaan sebelumnya tercecer).
Bagi rumah sakit yang berbudget terbatas, aplikasi yang bersifat open source pun sebenarnya tersedia. Salah satu diantaranya adalah OpenVistA yang dikembangkan oleh Departement of Veteran Affairs AS dan tersedia dengan harga US$ 25(dua puluh lima dolar). Akan tetapi, dibalik peluang tersebut, sebenarnya masih banyak tantangan lain yang harus diselesaikan. Isu standar pertukaran data, interoperabilitas (antara alat medis dengan komputer maupun perangkat komunikasi) masih menjadi topik yang belum tuntas. Indonesia pun baru mengadopsi standar diagnosis (ICD 10), sedangkan standar yang berkaitan aspek teknologi informasi tersebut masih belum diadopsi. Oleh karena itu, memang benar pendapat salah satu pakar, teknologi informasi di rumah sakit merupakan journey, bukan destination.
Mempercepat adopsi RME

Untuk mendorong minat dan adopsi RME, manfaat dan potensinya harus terus menerus disosialisasikan. Sebagai contoh, RME mampu menyimpan data pasien dalam jumlah yang besar hanya menggunakan perangkat komputer yang bisa dijinjing. Selain itu, rekam medis elektronik dapat memberikan peringatan jika dokter salah memberikan obat atau ada reaksi antar obat. Dalam konteks ini, sosialisasi RME harus menjadi bagian penting dalam kampanye gerakan keselamatan pasien (patient safety). Ada pula yang menunjukkan kelebihan rekam medis elektronik dalam menyimpan data medis multimedia yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Meskipun belum ada rekam medis elektronik yang benar-benar sempurna, secara teknologi sebenarnya sudah dalam fase mature.
Kegiatan sosialisasi tidak dapat berdiri sendiri. Sosialisasi RME harus dilakukan secara terus menerus dan memerlukan inisiatif tingkat nasional. Jika pemerintah serius menjadikan RME sebagai kunci untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, maka harus ada tim yang secara serius merumuskan arah pengembangan RME. Lembaga ini harus berada di luar Ditjen Yanmed Depkes, tetapi bertanggung jawab ke direktorat tersebut. Dengan demikian dia tidak akan terbebani dengan kegiatan rutin (misalnya mengurusi pelaporan rutin rumah sakit). Mengingat sebagian besar rumah sakit di Indonesia memiliki masalah klasik keterbatasan dana, tim tersebut dapat merumuskan model standar perangkat lunak RME yang bersifat public domain. Perangkat lunak tersebut harus mengikuti kaidah-kaidah standar informatika untuk RME (mulai dari ICD, HL7, LOINC dan berbagai standar lainnya)
Selain membuat perumusan di tingkat teknis, lembaga tersebut juga semestinya merancang payung hukum yang memberi jaminan keabsahan informasi rekam medis dalam bentuk elektronik. Hal lain yang harus dipertimbangkan tentu saja menyangkut aspek keamanan, kerahasiaan dan privacy informasi medis. Model RME tersebut harus tertuang ke dalam buku putih yang akan menjadi pegangan bagi setiap stakeholder yang terlibat dalam pengembangan RME di Indonesia.
Menjadikan RME sebagai bagian dari kebutuhan dokter merupakan bagian dari proses difusi inovasi. Di setiap generasi, akan selalu ada early adopters yang akan menjadi pionir dalam mengadopsi perkembangan terkini. Dia pulalah yang akan menjadi role model bagi sesama sejawat. Dalam berbagai literatur mengenai keberhasilan adopsi RME, aspek clinical leadership ini sering mengemuka.
Akhirnya kunci yang paling menentukan apakah RME akan diadopsi atau tidak terletak pada ada tidaknya kebutuhan, bukan teknologinya, baik menurut dokter maupun manajemen rumah sakit. Selama dokter merasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik seperti saat ini, maka proses adopsi akan berjalan lambat. Selama pihak manajemen juga tidak memiliki persepsi yang positif dan menganggap kebutuhan informasi di tingkat manajemen hanya berkisar mengenai BOR, LOS, TOI maka RME hanya akan menjadi wacana.

Sri Sukarmiyati



SISTEM INFORMASI RM BERBASIS ELEKTRONIK
Berdasarkan sumber yang saya baca Sistem informasi Rekam medik elektronik(rekam medik berbasis-komputer) adalah sistem penyimpanan informasi secara elektronik mengenai status kesehatan serta pelayanan kesehatan,yang diperoleh pasien sepanjang hidupnya dan tersimpan sedemikian hingga dapat melayani berbagai pengguna rekam yang sah(Shortliffe, 2001).
Sistem informasi rekam medik elektronik kini telah banyak diterapkan oleh Rumah Sakit-Rumah Sakit yang ada di Indonesia sebab telah terbukti memberi kemudahan pada petugas pelayanan kesehatan,sehingga mempercepat proses yang akan diperlukan baik bagi pihak rumah sakit maupun bagi pihak pasien tersebut.
Sistem informasi rekam medik eletronik pada era saat ini sangat membantu kinerja petugas pelayanan kesehatan karena memberi kemudahan-kemudahan dalam mendata segala sesuatu tentang pasien untuk dibutuhkan dengan cara yang cepat.
Namun dibalik kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam sistem informasi rekam medik elektronik terdapat pula kelemahan-kelemahan dalam mengoperasikannya,seperti:membutuhkan biaya yang tidak sedikit,diperlukan sistem jaringan serta system. Membangun sistem informasi di rumah sakit dikenal sangat kompleks, padat karya, dan padat modal. Untuk itu dibutuhkan metode pembangunan sistem agar dapat menuntun analist sistem untuk menghasilkan sistem yang standar.
Di dunia sistem informasi dikenal beberapa metode pembangunan sistem informasi yakni dengan metode Prototype,metode spiral dan metode daur hidup. Ketiga-tiganya memiliki kelebihan dan kekurangan yang mengharuskan pengambil keputusan di tingkat manajerial lebih berhati-hati agar tidak terjadi kondisi “chaos” akibat sistem tersebut.
Metode prototype yang akan dibahas dapat memberikan gambaran/ide bagi seorang analist sistem untuk menyajikan gambaran secara lengkap. Dengan demikian manajer rumah sakit akan dapat melihat model sistem tersebut baik dari sisi tampilan maupun teknik prosedural yang akan dibangun. Ada 2 jenis metode prototype yang dikembangkan yakni metode Prototype pertama lebih singkat dan kurang rinci dibandingkan metode prototype jenis yang kedua.

Metode Prototype 1 :
1. Mengidentifikasi Kebutuhan pemakai
Analist sistem melakukan studi kelayakan dan studi terhadap kebutuhan user, yang meliputi model interface, teknik prosedural maupun teknologi yang digunakan.


2. Mengembangkan Prototype
Analist sistem bekerja sama dengan programer mengembangkan prototype sistem untuk memperlihatkan kepada manajer rumah sakit pemodelan yang akan dibangun.

3. Menentukan prototype
Analist sistem mendeteksi dan mengidentifikasi sejauh mana pemodelan yang dibuat sesuai dengan harapan user termasuk perbaikan-perbaikan yang diinginkan atau bahkan harus merombak secara keseluruhan.

4. Penggunaan Prototype
Analist sistem akan menyerahkan kepada programmer untuk mengimplementasikan model yang disetujui menjadi suatu sistem.
Selanjutnya pada metode prototype 2, ditambahkan langkah:
1. Menguji sistem operasional
Programer akan melakukan ujicoba dengan data primer maupun sekunder untuk memastikan bahwa sistem dapat berlangsung dengan baik dan benar.
2. Menentukan sistem Operasional
Pada tahap ini sudah mulai negosiasi tentang sistem, apakah diterima atau tidak, perlu dirombak atau diteruskan.
3. Jika sistem telah disetujui , tahap terakhir adalah “Implementasi”
Metode prototype ini cocok di gunakan untuk pengembangan skala kecil karena kurang rincinya tahapan yang dilalui dan kurangnya proses dokumentasi.
Keuntungan dan kerugian dengan metode Prototype.
Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini:
a.  Terjadi komunikasi aktif antara analist , programer, user dan manajer RS
b.  User ikut terlibat secara aktif dan partisipatif dalam menentukan model sistem yang digunakan, dengan kata lain “Sistem dengan perspektif pemakai”.
c.  Dengan metode ini meningkatkan kepuasan user karena harapan dan keinginan dapat terimplementasi dengan baik, sementara biaya pengembangan sistem menjadi lebih hemat.

Kerugian yang dapat terjadi :
a.  Kurangnya dokumentasi sehingga bila terjadi kesalahan cukup sulit untuk memperbaikinya.
b.  User dalam perjalanan pembangunan sistem mengembangkan ide-ide dan gagasannya sehingga kadang menjadi sangat luas dan sulit untuk diimplementasikan.

(Referensi: raymond Mc.Leod,Jr,1995)
Yoyok-simkesnonreg2008.

Zeni Kurnia



SISTEM INFORMASI REKAM MEDIS
Sistem informasi rekam medis merupakan salah satu program baru dan sangatlah penting didalam bidang kesehatan. Seorang  rekam medis memiliki data-data atau informasi penting yang berhubungan dengan pasien, seperti KIUP ( Kartu Indeks Utama Pasien ) sebagai nomor identitas pasien dll. Data-data yang ada disimpan sehingga dapat terjaga keamanannya dan jika sewaktu-waktu diperlukan dokumennya mudah diambil kembali, serta cara pemusnahannya harus mengikuti tata cara yang benar.
Segala pekerjaan seorang Perekam medis selalu berhubungan dengan alat-alat tekhnologi informasi yang modern. Jadi petugas rekam medis setidaknya harus bias mengoperasikan computer sebagai prasarat dalam manajemen Data Base pasien untuk mempermudah cara mengakses data pasien. Dokumen rekam medis ini bersifat sangat rahasia dan juga bisa digunakan dalam proses hukum jika ada kesalahan yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit, dll.
Sehubungan dengan kemajuan ilmu teknologi dan informasi yang pesat, termasuk teknologi informasi Rumah Sakit atau yang sering disebut Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIM RS) yang dituntut untuk dapat menyajikan data / informasi dengan cepat, tepat dan akurat. Perlu diketahui sistem informasi tidaklah lepas dari sistem secara umum dan informasi. Sistem dapat didefinisikan menjadi dua kelompok, yaitu sistem yang lebih menekankan pada prosedur dan elemennya. Pengertian sistem itu sendiri  adalah suatu kesatuan yang terdiri dari beberapa faktor yang berhubungan  atau diperkirakan berhubungan satu sama lain saling mempengaruhi, dan secara sadar dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam beberapa literatur sistem informasi dapat didefinisikan sebagai berikut :
a.    Suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen dalam organisasi untuk mencapai tujuan yakni menyajikan informasi.
b.    Merupakan sekumpulan prosedur suatu organisasi yang akan meberikan informasi bagi pengambil keputusan untuk mengendalkan organisasi.
c.    Sistem dalam organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategis dari organisasi dan penyediaan report / laporan hasil pengolahan kepada pihak tertentu.

Sistem informasi berguna di berbagai tingkatan organisasi, diantaranya :
a.    Mengolah transaksi, mengurangi biaya dan menghasilkan pendapatan.
b.    Mengolah berbagai laporan penting dari transaksi,
c.    Memperoroleh persediaan pada tingkat paling rendah agar konsisten dalam menjaga produk mereka.

Sistem informasi yang mempunyai derajat integrasi internal yang tinggi salah satunya ialah Sistem Rekam medik elektronik ( rekam madik berbasis – komputer ) adalah Sistem informasi secara elektronik mengenai status kesehatan serta pelayanan kesehatan yang diperoleh pasien sepanjang hidupnya dan tersimpan sedemikian hingga dapat melayani berbagai pengguna rekam yang sah ( Shortliffe, 2001). Sistem informasi rekam medik elektronik kini telah banyak diterapkan oeh Rumah – Rumah Sakit yang ada di Indonesia sebab telah terbukti member kemudahan pada petugas pelayanan kesehatan, sehingga mempercepat proses yang akan diperlukan baik bagi pihak rumah sakit maupun bagi pihak pasien tersebut. Sistem rekam medis elektronik pada era saat ini sangat membantu kinerja petugas pelayanan kesehatan karena member kemudahan-kemudahan dalam mendata segala sesuatu tentang pasien untuk  dibutuhkan dengan cara yang cepat. Namun dibalik kemudahan-kemudahan yang terdapat dalm sistem informasi rekam medik elektronik terdapat pula kelemahan-kelemahan dalam mengoperasikannya, seperti : membutuhkan biaya yang tidak sedikit, diperlukan sistem jaringan serta sistem keamanan yang kuat.

Rina Yulida



Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit
Mengacu pada UU Nomor 44 Tahun 2009,tentang Rumah Sakit yaitu pasal 52 Ayat 1 yang berbunyi : “ Setiap Rumah sakit wajib melakukan pencatatan dan peloparan tentang semua kegiatan penyelenggaraan Rumah Sakit dalam bentuk SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT 
Pengertian dari Sistem Informasi Manajemen dari beberapa pendapat ahli adalah :
1.    Sistem informasi manajemen merupakan suatu sistem yang biasanya diterapkan dalam suatu organisasi untuk mendukung pengambilan keputusan dan informasi yang dihasilkan dibutuhkan oleh semua tingkatan manajemen (Kristianto, 2003).
2.    SIM adalah sebuah sistem manusia atau mesin yang terpadu (integrated) untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen dan pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi (Davis, 2002).
Keuntungan dari penerapan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit adalah :
1.    Dapat memantau perkembangan Rumah Sakit secara akurat
2.    Dapat meningkatkan pelayanan dibidang kesehatan kepada masyarakat secara akurat.
3.    Rumah Sakit tersebut dapat terpantau secara langsung oleh lembaga-lembaga dari luar atau atau dalam negeri secara akurat sehingga mempermudah akses jika akan memberikan informasi dan memperudah aksese untuk memberikan dana
4.    Dapat menyimpan data base Rumah Sakit mulai dari Pasien, Karyawan yang terdiri dari data Rumah Sakit, data administrasi, data aset Rumah sakit dan lain-lain.
5.    Dapat mengangkat brand image Rumah Sakit tersebut secara tidak langsung dengan memiliki fasilitas modern.
6.    Dapat mengurangi beban kerja sub-bagian rekam medis dalam menangani berkas rekam medis, Bagian Rekam Medis memang sub-bagian yang paling direpotkan mulai dari coding, indexing, filling dan lain-lain. Sebagian Rumah Sakit di Indonesia masih mengggunakan petugas Rekam Medis ataupun kurir dalam mendistribusikan berkas-berkas ke masing-masing pelayanan.
7.    Dapat mengurangi pemakaian kertas.pemakaian kertas masih belum bisa dihilangkan di Indonesia karena data medis sangat rentan dengan hukum dan akan memporak porandakan perdagangan kertas di Indonesia . Dengan sistem yang terkomputerisasi, pemakaian kertas yang bisa di pangkas antara lain :
a.      Lembar kertas Rekam Medis yang tidak berhubungan dengan
masalah Autentikasi atau aspek hukum
b.      Laporan masing-masing unit pelayanan (karena semua laporan
telah terekap oleh sistem )
c.      Rekap Laporan ( RL ) 1-6 yang dikirim ke Dinas Kesehatan.
d.      Menghasilkan pelaporan keuangan rumah sakit yang dapat di pertanggungjawabkan

Sistem Informasi Rekam Medis Elektronik
Sistem informasi rekam medis elektonik atau disebut dengan virtual patient record atau electric medical record ini digunakan untuk mengelola informasi rekam medis pasien, sehingga memudahkan untuk menelusur balik informasi, termasuk sejarah penyakit dan tindakan medis yang pernah diterima, dan menggunakannya untuk mengambil tindakan medis yang tepat. Secara umum, Sistem informasi ini dapat didefinisikan sebagai informasi kesehatan individu yang disimpan dalam bentuk digital yang mempunyai sebuah penanda unik setiap individu (Raghupati,1997).
Sistem informasi rekam medis memungkinkan pengguna untuk mengisikana, menyimpan, memanggil-ulang, mentransmisikan, dan memanipulasi/ mengolah data pasien secra spesifik, baik per individu maupun secara kelompok, termasuk data klinis, administrative, dan demografi. Hal ini akan meminimalkan potensi duplikasi data dan mengurangi biaya dalam pengelolaan.
Sistem informasi ini digunakan dilingkungan rumah sakit atau lembaga penyedia layanan kesehatan lain yang menangani pasien secara langsung. Pada masa yang akan datang, sistem informasi ini seharusnya dapat terjadi inter-operabilitas antar rumah sakit. Rekam medis ini terkait dengan banyak aktivitas pelayanan kesehatan dan pengembangan sistem informasi kesehatan lain.